MENERAPKAN BATIK BER-SNI DENGAN CINTA



MENERAPKAN BATIK BER-SNI DENGAN CINTA

NN 10 Apr 2015

Melanjutkan kunjungan kerjanya ke Solo, Deputi Bidang Informasi dan Pemasyarakatan Standardisasi BSN, Dewi Odjar, mengunjungi UKM batik penerap SNI di sentra industry batik Laweyan Solo, Kamis (9/4/2015). Kesempatan pertama Dewi Odjar mengunjungi  SAUD EFFENDI batik art & painting yang merupakan merek dagang dari home industry kerajinan batik khas Solo. Ditemui oleh pemiliknya Saud Effendi, Dewi mendapatkan informasi dan masukan terkait dengan penerapan SNI batik oleh UKM. 

Saud Effendi, menceritakan sejarah menjalankan usaha batik yang pada awalnya merupakan miliki orang tuanya. Keputusan dirinya terjun ke dunia batik merupakan buah keprihatinannya akan kelangsungan bisnis keluarganya. Dari tujuh bersaudara, hanya Saud yang meneruskan usaha orangtuanya yang telah berhasil menyekolahkannya hingga menjadi lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ASRI Yogyakarta. Dirinya rela banting setir dari profesinya yang menggeluti dunia layar lebar sebagai aktor.

Kecintaan Saud pada batik dan didukung oleh kemampuannya dalam melukis, membuahkan batik-batik yang memiliki corak-corak baru. “Saya memang suka corat-coret sendiri. Menyampurkan motif batik pakem dengan motif lain. Menabrak-nabrakkan motif, mengikuti selera pasar. Yang jelas saya tidak mau berhenti,” ujar dia. Dari corat-coret itu menghasilkan motif klub sepakbola dunia untuk pertama kali. Berawal dari kecintaan anaknya dengan klub sepakbola AC Milan, Saud mendesain sendiri batik dengan motif klub besar asal Italia itu. Tak disangka, hasil karya Saud menjadi booming dan menjadi trend setter. Totalitas Saud untuk membangkitkan kembali kawasan Laweyan menjadi sentra industri batik tidak main-main, terbukti dirinya berhasil mendapatkan sertifikasi tanda SNI pada batik hasil produksinya dengan produk batik cap mori prima.

Dewi Odjar sangat terkesan dengan semangat dan cita-cita Saud untuk mengangkat kembali Laweyan menjadi sentra industri batik dengan kualitas terbaik. “sebagai bangsa pemilik batik, kita seharusnya melestarikan dan meningkatkan mutu batik Indonesia” ujar Dewi. Standaridisasi dilakukan pada kualitas produk yang dihasilkan untuk meningkatkan ketahanan bahan, tingkat kelunturan sifat mengkerut, hingga tahan gosok warna. Terkait dengan standardisasi Saud menyampaikan pesan kepada BSN agar memberikan bantuan untuk meringankan biaya sertifikasi yang saat ini dirasakan sangat berat bagi UKM batik. Sedangkan secaraekonomis, sertifikasi SNI belum memberikan keuntungan bagi para produsen. Itu yang menyebabkan masih enggannya pengusaha batik untuk melakukan sertifikasi tanda SNI.

Masih diwilayah Laweyan, Dewi Odjar kembali menyusuri gang-gang untuk mengunjungi UKM batik yang juga telah mendapatkan sertifikasi tanda SNI yaitu Batik Mahkota Laweyan.  Batik ini berhasil telah mendapatkan sertifikasi tanda SNI untuk produk batik tulis mori primisima. Ditemui sang pemilik yang juga suami isteri, Alpha Febela Priyatmono dan Juliani Prasetyaningrum. Sejarah perkenalan mereka dengan dunia batik, hampir sama dengan Saud Effendi, yaitu menjalankan usaha  warisan orang tua yang sebelumnya bernama ”Batik Puspowidjoto”. Tahun 70-an, Batik Mahkota mulai memudar. Gempuran batik cetak dari luar daerah membuatnya kehabisan napas. Pengusaha batik lain di Laweyan juga berguguran. Akhirnya Batik Mahkota pun tak bisa bertahan. ”Bapak saya menjadi generasi terakhir pengusaha batik,” kata Juliani sedikit mengenang.

Belasan tahun peralatan batik tergeletak menganggur, kesempatan hidup kembali datang ketika Pemerintah Kota Surakarta menetapkan Laweyan sebagai Kampung Batik pada tahun 2004. Setahun setelah itu, Alfa pun berniat untuk membangkitkan kembali batik Puspowidjoto dengan mengusung merek baru yaitu Mahkota. Kecintaannya pada batik dan keprihatinannya pada kampung batik Laweyan yang sempat vakum, membuat suami istri ini nekat meninggalkan pekerjaanya sebagai dosen. Dengan berbekal ilmu arsitek, Alpha menjadi pelopor untuk membuat motif khusus, yakni batik abstrak yang saat ini digemari sebagai alternatif corak bagi pecinta batik.  

Tak hanya itu, Batik Mahkota Laweyan memberikan pelatihan pembuatan batik kepada pengunjung yang berkunjung ke showroom dan sekaligus workshopnya. Batik Mahkota Laweyan pernah membantu memberikan pembinaan terhadap pengungsi korban Gunung Merapi yang disambut baik oleh masyarakat Balerante yang saat itu jenuh di pengungsian. “Kami juga membimbing dan melatih membatik masyarakat di Timika dan Raja Ampat, Papua, sehingga nantinya mereka bisa membuat batik dengan corak khas daerah mereka sendiri,” ujar Juliani.

Tidak saja batik, Alpha juga menjadi salah satu inspirator bersama masyarakat setempat untuk menata Kampung Laweyan menjadi kawasan produsen batik yang bersejarah dan layak menjadi aset wisata. Ide tersebut mendapatkan sambutan yang baik dan warga pun sangat antusias sehingga mulai termotivasi untuk kembali mengelola secara serius usaha batik mereka. Semangat masyarakat Laweyan ini mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak, sehingga Kampoeng Batik Laweyan bisa setenar seperti saat ini.

Dewi Odjar sangat terkesan dengan visi Alpha Fabela untuk melestarikan sejarah budaya batik di Laweyan ini sehingga para generasi muda dapat memahami betapa besarnya batik mempengaruhi kehidupan masyarakat Surakarta dan sekitarnya terutama dari segi ekonomi. Dewi berharap akan ada lagi batik-batik Laweyan yang memiliki sertifikasi tanda SNI selain Batik Mahkota Laweyan dan Saud Effendi yang secara kualitas mampu berada di jajaran atas agar masyarakat dapat membandingkan kualitas batiknya.

 


Bagikan artikel ini :

Sign up for good news emails

Stay current with our latest insights